Muara Badak, Kutai Kartanegara – Kasus penganiayaan terhadap seorang anak yang masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Muara Badak,pada senin ( 7/4) lalu, hingga saat ini masih dalam proses hukum. Meski kasus ini viral dan menjadi perhatian masyarakat, pelaku berinisial A (49) belum juga ditahan.
Pada Jumat (2/5) sore, kuasa hukum korban, Paulinus Dugis, S.H., M.H., bersama tim dan keluarga, mendatangi kantor Polsek Muara Badak untuk meminta kejelasan terkait perkembangan kasus tersebut. Namun, hingga Sabtu (3/5) pagi, mereka mengaku belum mendapatkan informasi resmi mengenai tuntutan hukum terhadap tersangka.
Dalam konferensi pers yang digelar pada pukul 00.23 WITA,3 Mei 2025, tim 11 pengacara dari Kalimantan Timur, berbagai kejanggalan dalam penanganan kasus ini diungkap. Paulinus Dugis menyampaikan bahwa korban adalah anak di bawah umur yang dilaporkan ke Polsek Muara Badak, dan menegaskan bahwa penanganan harus mengikuti ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak dan prosedur hukum yang berlaku.
Ia mengapresiasi langkah cepat polisi dalam menetapkan tersangka, inisial A, yang diduga sebagai pelaku penganiayaan. Namun, terdapat sejumlah kejanggalan yang diungkapkan oleh tim kuasa hukum terkait penahanan tersangka. Menurut penjelasan, tersangka sebelumnya diamankan di kantor polisi selama empat hari, padahal sesuai hukum, penahanan maksimal adalah 1×24 jam. Paulinus Dugis mempertanyakan apakah yang dilakukan polisi selama empat hari tersebut benar-benar penahanan atau hanya pengamanan, mengingat peraturan yang berlaku.
Lebih jauh, ia menyampaikan bahwa dalam kasus ini, Kanit Reskrim mengaku tidak menahan tersangka, melainkan mengamankan. Ia menegaskan bahwa hal ini berbeda dengan praktik umum penahanan terhadap tersangka kejahatan serupa, terutama yang melibatkan anak di bawah umur.
Selain itu, kuasa hukum juga menyoroti proses penanganan kasus lain di wilayah tersebut, seperti kasus di Samarinda Seberang yang juga melibatkan anak di bawah umur dan tersangka yang ditahan. Mereka mempertanyakan sikap aparat dalam menangani kasus ini, mengingat tidak adanya penahanan terhadap tersangka dalam kasus Muara Badak.
Paulinus Dugis dan tim pengacara menegaskan bahwa segala tindakan yang tidak sesuai prosedur, termasuk dalam kasus ini, harus dipertanggungjawabkan. Mereka berharap agar aparat tidak mengabaikan hak-hak korban, terutama anak di bawah umur yang mengalami trauma secara fisik dan psikis akibat penganiayaan tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, mereka mengajak masyarakat untuk turut mengawasi proses hukum ini dan menilai sendiri langkah yang diambil aparat. Mereka juga menegaskan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak dan berharap pelaku segera diproses sesuai aturan hukum.
Sementara itu, Kasium Polsek Muara Badak, Iptu Abdul Kohar, menegaskan bahwa pihak kepolisian sudah bertindak sesuai aturan yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa ancaman hukuman 3 tahun 6 bulan dalam pasal 21 ayat (4) KUHP yang dikenakan terhadap tersangka membuat penahanan “Tidak bisa di tahan”.
“Proses ini tetap berjalan, dan silakan dicek sampai mana perkembangan penyidikannya,” ujar Iptu Abdul Kohar di depan awak media. Ia menambahkan, sebagai anggota Polsek, pihaknya berkomitmen menjalankan seluruh prosedur sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Namun, tanggapan polisi ini mendapat kritik dari kuasa hukum korban, Paulinus Dugis, S.H., M.H. Menurutnya, pernyataan polisi mengenai tidak wajibnya penahanan berbeda makna dengan tidak bisa di tahan. “Polisi bisa menahan tersangka karena itu kewenangan penyidik,” ujarnya.
Paulinus juga menegaskan, “Kalau bapak tadi bilang tidak bisa ditahan, buat apa undang-undang dibuat? Memang tidak wajib, tapi hal itu dilihat dari syarat objektif dan subjektif,” ujarnya.
Ia menjelaskan, syarat objektif diatur dalam KUHAP Pasal 21 ayat (4), yang menyatakan bahwa perkara pidana dengan ancaman di atas 5 tahun wajib ditahan. Sebaliknya, jika ancamannya di bawah 5 tahun, penahanan tidak wajib.
Sementara itu, syarat subjektif meliputi kekhawatiran tersangka untuk melarikan diri, menghilangkan barang bukti, maupun melakukan perbuatan pidana lainnya. Menurutnya, dalam kasus ini, penegak hukum tidak mempertimbangkan aspek subjektif tersebut.
“Perkara ini termasuk lex specialis, di mana korban adalah anak di bawah umur, mengalami trauma, dan diduga dianiaya serta diancam dibunuh,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa tersangka sempat diamankan selama 4 hari, namun kemudian dilepaskan, dan keberadaannya hingga saat ini tidak diketahui.
“Ketika kita minta bukti wajib lapor dari pihak penegak hukum, mereka juga tidak bisa memperlihatkan bukti tersebut. Jika dalam posisi tidak ditahan dan wajib lapor, seharusnya hal itu bisa dipenuhi sesuai aturan,” pungkasnya.








![Kepala Lapas Kelas IIA Tenggarong Suparman menyampaikan remisi dasawarsa kepada WBP pada HUT ke-80 RI[Foto: Dilla/Mediaetam.com]](https://mediabadak.com/wp-content/uploads/2025/08/remisi-dasawarsa-lapas-tenggarong-suparman-360x180.jpg)

























